Yang dimaksud dengan harta haram, yaitu: setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang syariat. Adapun yang dimaksud dengan muamalat adalah: hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan manusia satu dengan lainnya. Dan untuk hal yang berkenaan dengan harta biasanya ditambahkan kata “maaliyyah” yang berarti harta. akan tetapi, belakangan kata muamalat konotasinya adalah muamalat maaliyah. Seorang manusia yang hidup di abad modern ini dituntut untuk mengumpulkan dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya agar bisa hidup layak dan tenang menghadapi masa depan diri dan anak cucunya. Pada saat itu orang-orang tidak peduli lagi dari mana harta dia dapatkan.
Rasullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Akan datang suatu masa, orang-orang tidak perduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram”.
(HR. Bukhari).
Memakan harta haram adalah perbuatan mendurhakai Allah dan mengikuti langkah syaitan, Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Al Baqarah: 168).
Mendurhakai Allah (berbuat dosa) merusak diri setiap insane, merusak jasmani, rohani, dan akal fikiran.
Imam Syafi’I bersyair:
Aku mengadu kepada Waki’ buruknya hafalanku
Ia menasehatiku agar aku meninggalkan maksiat
Ia menerangkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan menerangi pelaku maksiat
Sebenarnya, apapun muamalat yang melanggar syariat pasti akan berdampak kezaliman terhadap masyarakat banyak, baik secara langsung mapung tidak langsung. Akan tetapi pembahasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kezaliman dalam muamalat yang berdampak langsung terhadap masyarakat banyak. Penjual menampilkan barang tidak sesuai dengan hakikatnya, atau ia menyembunyikan catat barang, jika pembeli mengetahui hakikat barang sesungguhnya ia tidak akan membeli barang dengan harga yang diinginkan penjual. Curang dalam berdagang itu disebut Ghisysy, maka ghisysy adalah mengurangi timbangan dan takaran, dengan tujuan ia mendapat keuntungan dari selisih barang yang ditimbang dengan benar.
Seorang pedagang muslim dapat meraih derajat yang tinggi, bersama para nabi di akhira kelak dan mendapatkan keberkahan hidup di dunia dalam hartanya. Ia dapat meraihnya melalui profesinya sebagai pedagang. Hal itu dicapainya dengan bersikap jujur, tidak menaikkan harga terlalu tinggi dan tidak menyembunyikan cacat barang yang ia ketahui kepada calon pembeli.
Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Para pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya akan bersama para nabi, siddiqin dan orang-orang yang mati syahid”. (HR. Tirmizi, ia berkata, “Derajat hadist ini hasan”).
Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
”Jika penjual dan pembeli jujur serta menjelaskan catat barang niscaya akad jual-beli mereka diberkahi. Tetapi, jika keduanya berdusta serta menyembunyikan catat barang niscaya dihapus keberkahan dari akad jual-beli mereka”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Sebagian orang tidak cakap menawar harga barang, berapapun harga yang diucapkan oleh penjua dibelinya karena tia tidak tahu harga pasar sebuah barang. Maka pada saat membeli sebuah barang, sering ia tertipu, membeli di atas harga biasa. Jika pembeli tahu harga pasar namun rela dengan harga yang ditawarkan oleh penjual dengan berbagai pertimbangan, maka hukum jual beli ini halal, karena jual-beli ini terjadi atas dasar kerelaan dua belah pihak walaupun harga yang disepakati di atas harga pasar. Mengingat Islam tidak membatasi persentase keuntungan yang boleh diambil oleh penjual. Islam membolehkan seorang penjual mengambil laba sekalipun mencapai 100% dari modal atau bahkan lebih dengan syarat tidak ada ghisysy (penipuan harga maupun barang). Akan tetapi, memang keuntungan yang lebih rendah lebih afdhal dan lebih berkah bagi pedagang.
Orang yang tertipu dalam jual-beli, saat ia tahu harga pasarnya ia berhak memilih antara meneruskan jual beli atau mengembalikan barang dan meminta uang seluruhnya kembali. Dan bagi penjual, dia tidak berhak menolak pilihan yang diinginkan oleh pembeli yang tertipu ini karena hak pembeli tersebut telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ia sering tertipu berjual-beli, maka Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda:
Bila engkau membeli ucapkanlah, “Tidak boleh menipu! Kemudian, barang yang telah dibeli boleh dikembalikan selama tiga hari, jika engkau rela tahan barangnya (jangan dikembalikan) dan jika engkau tidak rela barangdapat engkau kembalikan kepada penjual ”. (HR. Ibnu Majah, Hadis ini dinyatakan Hasan oleh Al-Albani).